5 to 6
16.39
LIMA Desember
Dua Ribu LIMA adalah awal dari ini semua.
Bayangan masa
lalu memasuki pikiran kosongku lagi, dimana saat itu anak perempuan sepuluh
tahun sedang mencoba merangkai kehidupan. Dengan secarik kertas dan pensil ia
menulis dan merencanakan beberapa hal yang akan ia capai di masa depan. Namun
apalah arti itu semua jika ada yang mengganjal pikirannya, dia telah membiarkan
Lima menjadi angka yang tiada berarti. Bukan berarti ia tidak mampu hanya saja
pikiran kekanakannya dan pengaruh sekitar sangat mudah mempengaruhinya. Masih
jauh dari kata aman untuk menyelamatkan Lima. Ketika tangannya telah diulurkan
tetapi ternyata sudah terlambat, Lima sudah terjatuh terlalu dalam.
Lima, ini
penyesalan yang baru dapat aku rasakan ketika aku berumur belasan. Penyesalan
yang hanya menjadi rangkaian luka dalam kehidupan. Namun yang aku rasakan masih
seperdelapan dari rasa sakit yang kamu rasakan.
Lima, maafkan
aku yang tidak dapat berbuat apa-apa ketika kamu sedang sendiri, maafkan aku
pula yang terlalu sibuk menyusun dunia pertemananku sendiri tanpa membawa
dirimu masuk ke dalamnya. Sesungguhnya aku selalu ingin meraih tanganmu, kita bermain
bersama merenda masa muda yang penuh sukacita.
Lima, saat
itu mataku buta pura-pura tak melihat dirimu yang dikelilingi mereka. Dengan
mudahnya aku memalingkan wajahku. Aku hanya bisa mencari aman pada saat itu. Perlakuan
mereka sudah keterlaluan aku tidak bisa menahannya lagi, tapi aku hanya anak
baru yang selalu diabaikan. Semua pembelaan aku sia-sia, semua berakhir dengan
tragedi itu lagi.
Lima, air
mata itu aku sangat ingin menghapusnya dengan senyum. Kesunyian itu aku ingin
meramaikannya dengan canda dan tawa. Tapi bisakah aku? Bisakah? Aku masih
terlalu ragu untuk memulai saat itu.
Lima, aku
hanya murid pindahan yang polos dengan rok merah yang panjangnya di bawah
lutut. Pergi sekolah hanya dengan niat yang ku sebut mulia, belajar ya belajar.
Belajar apanya, entah aku malah merasa tempat itu seperti penjara dengan jeruji
kemunafikan. Apakah kamu merasakan hal yang aku rasakan?
Lima, apa-apa
yang mereka katakan aku menurutinya dengan alasan ingin hidup aman, banyak
teman, bahagia. Padahal yang aku dapat semuanya kepalsuan, saat ini tidak ada
satupun dari mereka yang tetap ada dihidupku, aku salah Lima.
Lima, aku
turut berduka cita atas kabar bahwa ibumu telah tiada. Sungguh aku tersentuh
dengan kebaikan ibumu yang terlihat sangat tulus menemanimu setiap saat. Semoga
beliau diterima disisi-Nya, aamiin.
Aku tahu kamu
sangat kuat Lima, semoga kamu tetap tegar dimanapun kamu berada sekarang.
Tapi aku
lemah, saat ini aku tersiksa, Lima.
Dimana
dirimu? Rambut panjang yang dikepang itu, terkadang terbersit secara visual
dipikiranku. Tatapan polosmu, matamu yang sayu, cara bicaramu yang anggun,
semua itu pergi kemana?
Seandainya
aku bisa lebih cepat menggenggam tanganmu dan me-reset ini semua. Tapi aku tahu
itu tidak mungkin.
Seandainya
saja aku tak termakan omongan mereka, sungguh aku tidak keberatan jika kita
berteman berdua, karena apalah artinya punya teman banyak tapi NOL.
Lima, aku
ingin kamu ada disini. Aku berharap saat itu kita ditakdirkan menjadi dekat.
Lima, jika
kita bertemu, ijinkan aku untuk memulai ini semua dari awal.
Let It Flow by Hanatika Nurhaeni |
I’m sorry,
I’m really regretting this... everytime.
Sometimes I
want a “reset” button in my life, so I won’t regret anything right now.
5 to 6 is the
best regret I’ve ever had.
3 comments
follow back sis. ^^
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusditunggu lanjutannya
BalasHapus