Caffeine

23.33

Photo: writtenbycharlotte.com

Pada malam itu ditemani secangkir kopi dan gerimis, membawaku ke dalam saat-saat penuh keoptimisan sekaligus kepesimisan...


Aku kadang kali berkata, memaksamu untuk berubah menjadi lebih baik tanpa pahami perspektif. Lalu lebih baik apa yang aku inginkan atas dirimu, lalu apakah diri ini telah merasa lebih baik. Masih ku ingat perkataanmu, seribu kebaikan yang dilakukan akan runtuh hanya dengan satu kesalahan yang dilakukan seseorang. Kini aku rasakan, kerap kali aku rasakan bagaimana berada dalam posisi yang menjadi objek dan subjek yang melakukan kesalahan. Aku tidak ingin menyalahkan lagi meskipun aku akui sering menuduh seringkali berbuat gaduh. Kamu benar, aku benar, dunia ini yang salah.

Seharusnya malam ini aku tidur, tetapi lagi-lagi aku memilih untuk terjaga dengan meminum kopi. Sekarang aku seperti pecintanya, layaknya obat yang aku minum tiga kali dalam sehari. Hingga membuat aku terlarut kembali pada saat-saat itu, dimana pikiran kita masih sederhana tak terumitkan keadaan. Betapa aku masih ingat ketika dirimu seperti kafein yang membuat jantungku terus berdebar. Setiap hal-hal kecil yang kamu lakukan sesungguhnya sangat berarti. Kehadiranmu yang tiba-tiba selalu melegakanku, tanpa aku pinta kamu benar-benar ada. Mencoba memahami, saling memahami, terus memahami, hingga terlelah untuk terus mencoba agar saling memahami.

Ah pahit. Cukup sudah, mengapa aku masih saja terus terlarut akan masa-masa itu. Dirimu memang kafein yang tidak dapat aku hindari, aku tak bisa meski mencoba menjauh. Lihat sekarang dirimu sudah pergi tapi mengapa bahkan setelah pergi kamu masih saja menyiksaku seperti ini. Jangan inginkan melihatku karena sepertinya sekarang aku jadi terlihat begitu menyedihkan. Lalu apakah aku melakukan kesalahan hingga membuat kita begini, entahlah.

Aku teguk kopi itu tanpa tersisa, masa bodoh karena aku harus tetap tidur malam ini. Sialnya, aku adalah orang yang tidak bisa tidur apabila banyak pikiran di kepalaku. Kerap kali keinginan untuk menelponmu muncul tanpa permisi. Hanya untuk mendengar suaramu saja sudah mampu membuatku lega dan melupakan kerumitan pada 24 jam yang telah aku lalui sebelumnya. Kamu, semudah itu menjadi penyembuh bagiku. Namun apa, aku tidak memilikimu, aku tidak bersamamu, dan aku tidak mempunyai hak apapun atas kamu. Rasa takutku ini susah payah aku kendalikan, namun apa daya aku mencari yang lain untuk berlari. Begitulah terus menerus seperti itu, aku tidak bermain tetapi aku hanya berlari.


Lalu, apa kamu main-main?

Aku memejamkan mata lagi, namun percuma saja aku tak bisa menerima kenyataan bahwa kamu adalah kafein. Kamu sangat buruk untukku, sangat buruk seperti kafein. Tapi mengapa aku menyukai kenyataan bahwa kamu adalah alasan atas jantungku yang berdebar dan tanganku yang gemetar.

Lampu kamarku telah dimatikan, gelap aku tak bisa melihat tapi masih bisa mendengar. Aku mendengar sepasang kekasih sedang bertengkar di dekat rumahku. Kata kotor dan sumpah serapah menjadi senjata andalan untuk saling menembakkan peluru-peluru yang membuat hati semakin lumpuh. Tanpa aku hendaki air mata telah menetes satu persatu membasahi helai-helai rambutku. Apakah satu kesalahan itu cukup layak untuk menghancurkan suatu hubungan?

Lihat aku, bagaimana bisa aku terlihat baik seperti ini? Aku heran atas diriku sendiri yang mengaku kuat padahal cukup lemah untuk menerima kenyataan yang terlontar dari mulutmu. Kata-katamu juga menusukku entah tak sempat aku hitung. Aku menjadi penasaran apa kamu tidak pernah menyadarinya. Kamu tahu aku adalah orang yang tak dapat menyembunyikan sedikit kebohongan darimu. Sesuatu yang aku bilang adalah apa yang ingin aku ucapkan, bukan yang selalu ingin kamu dengar saja. Aku tahu aku cukup egois karena aku sering berkata buruk tetapi selalu ingin diperlakukan dengan baik.

Hubungan kita bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah berakhir. Apa sebenarnya kesalahanku, lebih fatal kah dari apa yang kamu lakukan padaku? Jika itu lebih fatal daripada kesalahanmu maka aku layak untuk mendapatkannya. Tahukah kamu seberapa kerasnya aku mencoba memaafkan dan berharap semua menjadi baik-baik saja atas kesalahanmu saat itu. Betapa merasa tanpa bebannya kamu melenggang bebas tanpa memikirkan dampak yang kamu berikan padaku. Pada akhirnya, kamu yang menutup mata dan telinga sama saja dengan yang lain.

Meskipun pada saat ini aku membencimu tapi ketika mengingat saat-saat kita masih bersama, aku tersenyum.

"Secangkir kopi adalah bunuh diri paling pahit bagi mereka yang mengharapkan manisnya penantian."

Tapi sebenarnya apa yang aku nantikan?

-Terinspirasi dari lagu Yang Yoseop dengan judul yang sama.

You Might Also Like

0 comments

Follow me @hanatika @hanatika.jpg @hanatikaofficial